Nikah Siri, Bagaimana Menyikapinya?

Nikah Siri, Bagaimana Menyikapinya?

Rabu, 24 Februari 2010 | 12:57 WIB
TEMPO Interaktif, Menerjemahkan keinginan untuk melindungi perempuan dan anak agar tidak menjadi korban dalam pernikahan ke dalam ranah hukum tampaknya tidaklah mudah. Draf Rancangan Undang-Undang Hukum Material Peradilan Agama Bidang Perkawinan, yang sebagian pasalnya berisi ancaman hukuman pidana bagi pelaku kawin siri, tak hanya ditentang para lelaki dan sejumlah tokoh agama Islam, tapi juga ditentang sendiri oleh kalangan perempuan yang justru hendak dilindungi melalui ancaman sanksi pidana bagi pelaku nikah siri dan kawin kontrak.

Pihak yang pro-RUU itu menilai ancaman sanksi pidana diperlukan untuk mencegah agar perempuan tidak menjadi korban dalam pernikahan siri, karena hal itu biasanya dilakukan hanya untuk justifikasi atau kedok dari perzinaan terselubung. Tapi tidak sedikit kalangan yang kemudian bereaksi keras dan tidak menyetujui RUU itu karena dianggap merupakan intervensi negara urusan privat dan bertentangan dengan agama.

Dalam kenyataan, memang harus diakui tidak semua pernikahan siri selalu diwarnai oleh efek yang merugikan perempuan dan anak. Bahkan tidak sedikit kasus pernikahan siri yang kehidupan pasangannya jauh lebih harmonis daripada pasangan yang menikah dan mencatatkan diri secara sah di kantor urusan agama (KUA). Tapi, karena sebagian posisi perempuan di Indonesia masih tersubordinasi dan acap kali menjadi korban ideologi yang patriarkis, bagaimanapun harus diakui bahwa pernikahan siri tidak jarang menebar penderitaan dan menjadi media bagi superioritas laki-laki untuk menunjukkan kekuasaan dan arogansinya kepada perempuan.

Apakah perempuan yang menikah dan terdaftar di kantor catatan sipil bisa dijamin bebas dari ancaman dan pasti diperlakukan secara adil oleh pasangannya? Apakah anak yang lahir dari orang tua yang menikah secara sah lantas bisa dijamin bebas dari kemungkinan menjadi korban child abuse? Dalam keluarga yang status pernikahannya terdaftar di KUA sekalipun sebetulnya tidak ada jaminan bahwa perempuan dan anak yang ada akan lebih terjamin masa depannya. Bahkan, jujur harus diakui, tidak sedikit perempuan yang pernikahannya dicatat negara tetap mengalami berbagai tindakan kekerasan dalam rumah tangga, dan anak-anaknya mengalami tindakan abuse oleh orang dewasa di sekitarnya.

Melindungi perempuan dan anak melalui payung hukum yang mengancamkan sanksi-sanksi pidana dan menggunakan pendekatan yang sifatnya legal-punitif, dalam beberapa bagian, harus diakui memang agak mensimplifikasi masalah. Artinya, kalaupun RUU itu benar-benar disahkan dan para pelaku nikah siri divonis sanksi pidana yang berat, sebetulnya hal itu bukan jaminan bahwa nasib perempuan bakal lebih baik.

Dalam ajaran agama apa pun dan dalam etika sosial masyarakat di mana pun, semua umumnya sepakat bahwa kehadiran perempuan dan anak mutlak harus dilindungi dari semua bentuk ancaman perlakuan kasar serta tekanan psikis. Tetapi, untuk memastikan agar perempuan tidak menjadi korban yang dirugikan dalam lembaga dan kehidupan perkawinan dengan pasangannya, sebetulnya yang dibutuhkan bukan hanya nilai, norma, dan payung hukum yang pro-perempuan, tapi yang juga tak kalah penting adalah upaya-upaya yang lebih berorientasi pada pemberdayaan perempuan secara mandiri.

Mendorong dan memfasilitasi agar perempuan lebih berdaya dan meningkat posisi <I>bargaining<I>-nya dalam membangun serta merebut kemandiriannya, bagaimanapun adalah solusi yang lebih efektif dan berkelanjutan daripada hanya mengandalkan peran negara yang acap kali menemui kesulitan ketika harus masuk terlalu jauh dalam urusan privat warga masyarakatnya. Artinya, meski perempuan menikah dan kemudian pernikahannya tercatat di KUA, jika dalam kehidupan sehari-hari mereka tetap tersubordinasi, kemungkinan mereka untuk tetap menjadi korban superioritas akan tetap besar. Hal ini tentu berbeda jika perempuan telah memiliki kemandirian dan posisi bargaining yang kuat, baik karena tingkat pendidikan maupun karena luasnya wawasan sosial yang dimiliki.

Di media massa, polemik yang muncul atas RUU yang mengatur dan mengancamkan sanksi bagi pelaku nikah siri saat ini tampaknya telah bergeser sebagai sikap antarkelompok yang mempertentangkan logika hukum dan logika agama. Perdebatan yang sudah melenceng dari tujuan awal negara untuk meningkatkan perlindungan bagi perempuan dan anak ini tidak mustahil berkembang makin kontraproduktif.

Persoalannya di sini sebenarnya bukan apakah nikah siri itu sah atau tidak, dan si pelaku perlu diancam sanksi pidana atau tidak. Namun yang lebih penting adalah bagaimana mencegah dan memberdayakan perempuan agar tidak menjadi korban dalam relasi sosial yang tidak seimbang di hadapan laki-laki yang menjadi pasangannya.

Mereduksi komitmen untuk melindungi perempuan dari kemungkinan menjadi korban dalam pernikahan siri, kawin kontrak, atau yang lain dalam pasal-pasal ketentuan hukum harus diakui rawan terjebak ke dalam sikap "hitam-putih", yang terkadang kurang mempertimbangkan situasi nyata di masyarakat. Tapi sikap yang menolak secara membabi-buta dan seolah-olah menutup mata terhadap penderitaan sebagian perempuan yang menjadi korban dalam pernikahan siri dari laki-laki yang pragmatis dan sekadar melegitimasi syahwatnya belaka tentu juga bukan sikap yang bijak.

Bagi pihak yang menentang draf RUU yang akan mengatur ancaman pidana bagi pelaku nikah siri, alangkah elok jika mereka tidak berhenti hanya menolak dan mengkritik isi pasal-pasal dalam RUU itu. Tapi kemudian menindaklanjuti dengan langkah mengekspose nilai-nilai agama yang melindungi perempuan, dan kemudian mencari strategi untuk menjamin agar ajaran agama yang diyakininya itu benar-benar diimplementasikan di masyarakat, agar tidak ada lagi kesan telah terjadi bias ideologi patriarkis dari sikap mereka menentang RUU itu. Bagaimana pendapat Anda?
Bagong Suyanto, Dosen Departemen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More